E satu.com (Tangerang ) -
“Sesungguhnya, jihad yang paling utama adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.”

(HR. Abu Daud No. 4344, Tirmidzi No. 2174)

Ada yang lebih sunyi dari malam, lebih sepi dari kuburan: keberanian yang mati dalam dada manusia. Kita hidup di negeri di mana kebenaran berbisik, sementara kebohongan berteriak di podium. Lihatlah, jalanan pernah penuh suara, tetapi kini gema perlawanan sering kali menghilang, ditelan oleh mayoritas yang memilih diam—silent majority yang tubuhnya berdiri tegak, tapi suaranya lunglai.

Keheningan ini bukan tanpa sebab. Ia lahir dari ketakutan, dipelihara oleh penguasa yang paham bahwa perlawanan paling ampuh bukanlah membungkam satu suara, melainkan membuat ribuan lainnya takut bersuara.

Konflik yang Diciptakan, Bangsa yang Dibenturkan

Jika musuhmu sedikit, buatlah mereka sibuk bertengkar sesama. Jika kebenaran mulai benderang, taburkan debu di udara agar semua mata rabun. Beginilah cara kekuasaan menjaga dirinya: bukan dengan menangkis kritik, tetapi dengan mengalihkan amarah.

Di Bandung dan Yogyakarta, mahasiswa turun ke jalan, suaranya mengalun seperti nyanyian luka. Namun, sebelum tuntutan mereka sempat menggema, datanglah ormas—bukan membawa argumen, melainkan kepalan tangan. Bentrokan pun terjadi, seakan-akan rakyat adalah dua sisi mata uang yang ditakdirkan untuk saling berbenturan. Padahal mereka sesungguhnya bukan musuh; mereka hanya bidak-bidak yang digerakkan oleh tangan tak terlihat.

Bukankah lebih mudah menuduh “anarkisme” daripada mendengar isi tuntutan? Bukankah lebih nyaman membiarkan rakyat saling mencabik daripada harus menjelaskan kebijakan yang timpang? Maka, konflik horizontal dibiarkan merajalela. Karena jika rakyat sibuk saling mencurigai, siapa lagi yang akan punya waktu menantang penguasa?

Baca Juga
Zaman berubah, tetapi represi tetap sama, hanya saja kini lebih halus, lebih licin, lebih digital. Jika dahulu musuh demokrasi dihadapkan pada moncong senjata, kini mereka cukup ditekan dengan ancaman yang lebih sunyi: doxing.

Bayangkan seseorang menulis sebuah kritik di media sosial, lalu esoknya namanya terpampang di grup-grup anonim, lengkap dengan alamat rumahnya, nomor teleponnya, bahkan wajah keluarganya. Tak ada pentungan, tak ada borgol, tetapi teror itu nyata. Doxing adalah cara kekuasaan menyentuh kita tanpa menyentuh kita—membuat setiap orang yang vokal berpikir ulang sebelum berbicara, karena harga dari keberanian bisa jadi adalah keselamatan diri sendiri.

Namun, sejarah selalu membuktikan: tak ada tirani yang abadi, tak ada kebungkaman yang tak bisa dipatahkan. Ada SAFEnet yang bisa melindungi mereka yang menjadi korban doxing. Ada solidaritas yang bisa melawan strategi pecah belah. Ada suara-suara kecil yang, ketika bersatu, bisa menjadi badai.

Mengapa Kita Harus Bicara?

Diam itu aman, tapi apakah kita hidup hanya untuk mencari keselamatan? Bukankah lebih baik mati dalam keberanian daripada hidup dalam ketakutan?

Jika kata-kata adalah senjata, maka membisu adalah menyerah tanpa perlawanan. Jika berbicara adalah jihad, maka kita sedang dihadapkan pada pilihan: mengucapkan kebenaran meski berisiko, atau membiarkan kezaliman terus bertahta tanpa tantangan.

Kita tak selalu harus berdiri di barisan depan, tetapi kita bisa menjadi gema bagi Bu mereka yang suaranya dipadamkan. Kita bisa memilih untuk tidak tertipu oleh konflik buatan. Kita bisa melindungi sesama dari ancaman

Penulis : Cecep Anang Hardian 
( Aktivis Tangerang Selatan )

Post A Comment:

0 comments:

Back To Top