Program Cek Kesehatan Gratis (CKG) / Pemeriksaan Kesehatan Gratis (PKG) mulai dijalankan Senin 10 Februari 2025. Dengan adanya program CKG ini, pemerintah ingin mengubah paradigma layanan kesehatan dari pendekatan kuratif (mengobati setelah sakit) menjadi preventif (pencegahan). Harapannya, dari CKG ini dapat mendeteksi penyakit lebih awal, sehingga dapat ditangani lebih cepat, mencegah keparahan dan komplikasi, serta mengurangi beban biaya kesehatan.

Apakah kebijakan ini mampu untuk meningkatkan taraf kesehatan masyarakat menjadi lebih baik?

Poin Kritis Kebijakan CKG 

1. Kesiapan Delivery Pelayanan Kesehatan melalui Fasilitas Kesehatan
Pelaksanaan CKG masih memiliki problema kesiapan di tataran pelaksanaannya. Dirjen Kesehatan Primer & Komunitas Kemenkes Maria Endang S., menyatakan bahwa sekitar 40% dari total puskesmas yang tersedia saat ini masih belum memadai untuk memfasilitasi pelaksanaan CKG. Puskesmas yang masih kurang memadai tersebut tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, terutama di luar pulau Jawa. . 

 

2. Perilaku Masyarakat

Tantangan terbesar untuk program preventif seperti ini adalah bagaimana mengubah pola pikir masyarakat yang selama bertahun-tahun hanya akan datang ke fasilitas kesehatan ketika sudah jatuh sakit. Padahal, banyak sekali penyakit yang bisa dicegah / ditangani lebih awal untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya tingkat pendidikan, pengetahuan kesehatan, dan tingkat ekonomi. Hal ini menunjukkan perlunya pendekatan sistemik & multidisipliner dalam hal pendidikan & kesejahteraan ekonomi.

3. Kesiapan BPJS Menjamin Pelayanan Kesehatan Pasca CKG

Pengamat Kebijakan Publik Univesitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah mengatakan, jangan lupa bahwa CKG memerlukan tindak lanjut. Sebab, jika ada masyarakat yang ditemukan memiliki penyakit maka perlu ada pengobatan & tindakan selanjutnya. Kesiapan kemenkes dan BPJS dalam menindaklanjuti follow-up dari CKG ini dipertanyakan, apalagi mengingat BPJS terancam kolaps. 

BPJS Kesehatan sendiri mencatatkan defisit sebesar Rp 9,56 triliun di tahun 2024. Defisit ini menjadi salah satu penyebab klaim BPJS mandek, yang mengakibatkan operasional RS menjadi terganggu. Rata-rata klaim mandek yang ada di RS pemerintah maupun swasta terus meningkat dari pertengahan hingga ujung 2024. Hal ini menunjukkan bahwa BPJS berasa dalam kondisi yang sangat rapuh dalam menopang layanan kesehatan, di sisi lain pegawainya justru masih bisa menikmati gaji fantastis. 

Pegawai BPJS Kesehatan memiliki gaji 3-30 juta plus ± 15 jenis fasilitas dan tunjangan yang bersumber dari iuran BPJS itu sendiri. Basis keuangan BPJS didasarkan murni dari iuran peserta, kecuali untuk PBI dibayarkan oleh APBD/APBN. Berarti, selain membayar klaim berbagai penyakit masyarakat, iuran BPJS juga digunakan untuk menggaji seluruh pegawai BPJS. Termasuk insentif direksi kesehatan sebesar Rp32,9 miliar untuk 8 orang direksi BPJS Kesehatan (2019) atau sekitar Rp342,6 juta per bulan/per orang. Ditambah juga insentif tujuh orang dewan pengawas BPJS Kesehatan dengan rata-rata Rp2,55 miliar per tahun

Di sisi lain, gaji tenaga kesehatan justru terlambat turun dan bahkan dipotong akibat klaim BPJS mandek. Hal ini dilaporkan di beberapa tempat di Indonesia,,,,,. Selain itu, stok obat yang dilaporkan BPJS juga seringkali habis / kosong di berbagai daerah,,,. 

Baca Juga
Belum lagi keluhan pelayanan yang buruk dan diskriminasi yang dialami pasien BPJS. Lembaga advokasi BPJS Watch mengatakan sepanjang 2022 terdapat 109 kasus diskriminasi yang dialami pasien BPJS terkait pemberian obat, re-admisi, dan kepesertaan yang dinonaktifkan. Selain itu, yang paling dikeluhkan adalah antrian yang lama untuk mendapatkan layanan kesehatan baik di FKTP maupun rumah sakit, serta prosedur yang rumit. Banyak pasien yang belum layak pulang, terpaksa dipulangkan setelah tiga - empat hari di rumah sakit. Belum lagi, ada item-item kesehatan lain yang dibebankan atau disuruh beli secara mandiri. 

Dengan ini, diterapkannya JKN sebagai pembiayaan kesehatan oleh BPJS ternyata masih belum mampu menyediakan jaminan kesehatan yang merata untuk masyarakat. CKG yang dijalankan kemenkes hanya akan menjadi sekedar hiburan saja apabila ujung-ujungnya tidak bisa ditangani dengan pelayanan kesehatan yang mumpuni.

Mencari ‘Cahaya’

CKG saja tidak cukup untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, namun harus disertai dengan peningkatan kuantitas dan kualitas layanan kesehatan, pembinaan & edukasi kesehatan yang adekuat terhadap masyarakat, stabilisasi ekonomi masyarakat, serta sistem pembiayaan layanan kesehatan yang merata, berkeadilan, transparan dan tepat guna. 

Hal ini harus diawali dengan mengubah paradigma kapitalisasi pelayanan. Kapitalisasi layanan kesehatan akan selalu menjadi kendala tercapainya fasilitas & layanan kesehatan untuk masyarakat yang berkualitas. Hadirnya sektor swasta sebagai penyumbang modal dalam sistem kapitalis dianggap dapat menambah dana untuk layanan kesehatan, namun perlu diingat bahwa swasta akan selalu berusaha mencari profit dari modal yang sudah diberikan. 

Hal ini akan menyebabkan terbengkalainya wilayah-wilayah miskin dan terpencil, karena dianggap tidak profitable bagi pemodal. Sebaliknya, wilayah perkotaan yang memiliki peluang keuntungan yang tinggi akan berkembang pesat. Hasilnya, timbullah kesenjangan yang jauh. Pemerataan layanan kesehatan berkualitas hanya akan menjadi mimpi di negeri bernafas kapitalisme.

Padahal, kesehatan adalah hak dasar manusia, bagi rakyat yang kaya, menengah, maupun miskin. Kenyataan saat ini “orang miskin dilarang sakit” masih menjadi animo, dengan adanya BPJS sekalipun. Diperlukan paradigma baru yang kuat, disertai dengan metode penerapannya agar visi dapat dieksekusi sebagaimana tujuannya. 

Indonesia sebagai negeri dengan mayoritas muslim sudah seharusnya mengambil harta karun terpendam yang dapat menjadi jawaban dari permasalahan yang ada, yaitu Islam sebagai paradigma baru. Islam memiliki paradigma bahwa kesehatan adalah salah satu kebutuhan umum untuk siapapun, tanpa memandang tingkat ekonomi, status sosial, bahkan agama sekalipun. Hukum-hukum terperinci tentang pengurusan masyarakat, ekonomi, bahkan kesehatan, kita temukan di dalam Islam. Fakta sejarah di masa kekhilafahan Islam juga menunjukkan implementasi layanan kesehatan yang amat baik.

Apalagi melihat ramainya tagar #IndonesiaGelap di media sosial. Apakah kita berdiam di #IndonesiaGelap, atau berusaha mencari sumber cahaya yang mengantarkan pada kegemilangan?

Penulis: dr. Staviera A. Praktisi pendidikan dan kesehatan di Cirebon

Post A Comment:

0 comments:

Back To Top