Dalam sepekan terakhir, gas elpiji atau LPG 3 kilogram mengalami kelangkaan disejumlah wilayah, termasuk di Kelurahan Pasar Manggis, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan. Pemilik pangkalan gas LPG 3 kilogram Merry (56) mengatakan, kelangkaan ini karena stok yang diberikan agen terbatas, kemudian diperparah oleh masa libur panjang Isra Mikraj dan Imlek, yang menghambat proses pendistribusian gas ke pangkalan-pangkalan. “Kelangkaannya seminggu lebih karena ada tanggal merah atau Imlek kemarin,”. Ketua Umum Partai Golkar memberi contoh, yakni satu rumah tangga membutuhkan 10 tabung LPG 3 kilogram per bulan. Namun faktanya, konsumen memborong sebanyak 30-40 tabung LPG 3 kilogram per bulan, maka perlu adanya pembatasan pembelian agar tidak terjadi kelangkaan.(BeritaSatu.com, 31/01/2025)
Lalu, kemana gas itu dibawa? Akibat kelangkaan ini, pemerintah membuat kebijakan yaitu melarang penjualan gas LPG 3 kilogram ditingkat pengecer atau warung. Atau mengubah pengecer atau warung tersebut menjadi pangkalan resmi dengan syarat menujukkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) atau Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan tujuan agar penerima subsidi bisa tetap sasaran. Tetapi, kebijakan ini justru menjadi kebijakan yang mematikan pengusaha kecil dan menyusahkan konsumen. Karena pengecer selama ini merupakan pengusaha akar rumput dan warung kecil untuk mencari pendapatan dari berjualan elpiji 3 kilogram, dan mustahil bagi pengusaha akar rumput untuk mengubah menjadi pangkalan atau pengecer resmi Pertamina karena dibutuhkan modal yang tidak kecil untuk membayar pembelian LPG 3 kilogram itu dalam jumlah besar.
Lantas, bagaimana agar kelangkaan itu tidak terjadi? Kelangkaan gas LPG itu merupakan masalah dalam sistem ekonomi kapitalisme. Pembangunan sistem kapitalisme menyisakan berbagai problem diseluruh sektor kehidupan, bahkan cenderung merusak keberlangsungan kelestarian alam.
Islam menetapkan migas termasuk dalam kepemilikan umum, dan mewajibkan negara untuk mengelola sumber daya tersebut untuk kepentingan rakyat, sesuai dengan fungsi negara sebagai raa'in. Negara tidak boleh meniscayakan adanya liberalisasi (migas) dengan memberi jalan bagi korporasi mengelola SDA yang sejatinya milik rakyat. Negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan migas ini pada perorangan/perusahaan.
Oleh karena itu, negara harus secara tegas merebut kembali SDA yang telah dikuasai dan dikelola kelompok atau asing. Negara harus memanfaatkan sumber daya alam secara benar dan bijak, berlanjutan, dan ramah lingkungan agar tidak merusak lingkungan dan melestarikan alam. Serta membuat mekanisme pendistribuannya dipermudah agar masyarakat mudah mendapatkannya. Wallahu alam
Penulis : Pipit Sri Karyanti (Pelajar)
Post A Comment:
0 comments: