Bonnie


Menkes Budi Gunawan Sadikin menyatakan bahwa kemenkes akan membuka gerbang masuknya nakes asing ke Indonesia, untuk memenuhi jumlah nakes yang masih minim. Sebelumnya, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, menyatakan bahwa  jumlah dokter dan dokter Spesialis di Indonesia masih kurang dimana rasionya hanya 0,47 dan menempati urutan 147 di dunia.  (p2ptm.kemkes.go.id, 24/4/24).  Bahkan untuk dokter spesialis, Menkes menambahkan bahwa Indonesia butuh waktu 20 tahun untuk mengejar ketinggalan target perbandingan dokter dan masyarakat sesuai acuan WHO (kompas.co.id, 4/7/24)

DI satu sisi, memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat melalui penambahan jumlah dokter yang sampai kepada masyarakat memang sebuah itikad yang baik. Namun di sisi lain, kebijakan ini juga menuai kritik. Salah satunya dari Dekan FK Unair, Prof. Dr. dr. Budi Santoso, Sp.OG(K), yang dicopot karena menyuarakan ketidaksetujuannya. 

Pemerintah dianggap tidak bersemangat dan tidak sabar untuk mencetak serta mengoptimalkan dokter-dokter yang ada di dalam negeri. Wakil Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Slamet Budiarto, mengatakan bahwa masih banyak opsi yang bisa digunakan untuk menambah jumlah dokter di daerah, salah satunya dengan mengoptimalkan dokter yang belum diangkat menjadi pegawai negeri. Sejauh ini baru sekitar 20% dokter yang baru lulus yang diangkat menjadi pegawai negeri, menunjukkan bahwa masih besar potensi yang belum dioptimalkan (bbc.com, 8/7/24).

Selanjutnya yang dapat dilakukan pemerintah adalah penambahan insentif dan teknis sistem kerja dokter di daerah terpencil. Kenyataannya, praktik dokter di daerah terpencil memang lebih menantang dalam banyak hal, termasuk ketersediaan sumber daya dan biaya hidup, serta masalah yang lebih kompleks. Hal ini juga dikuatkan dengan pandangan dari CEO lembaga kajian Central for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Diah Saminarsih, yang mengatakan bahwa minimnya kelengkapan alat di daerah terpencil menjadi salah satu alasan keengganan dokter spesialis untuk bekerja di daerah terpencil (bbc.com, 8/7/24).

Slamet melanjutkan, bahwa hal penting lainnya yang dapat dilakukan pemerintah adalah optimalisasi pendidikan kedokteran bagi putra putri daerah melalui sistem ikatan dinas. Pemerintah membiayai pendidikan kedokteran bagi putra putri daerah, hingga mereka dapat menjadi dokter di daerah asalnya. Hal ini sejalan dengan artikel ilmiah dengan judul “Increasing the Number of Rural Physicians” oleh James Rourke di Kanada, yang menyatakan bahwa peningkatan jumlah mahasiswa kedokteran dari daerah terpencil adalah salah satu hal penting yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan jumlah dokter yang bekerja di daerah terpencil.

Rourke juga menyebutkan faktor lainnya, yaitu menambah program magang / internsip kedokteran di wilayah terpencil untuk tingkat sarjana / pascasarjana, meningkatkan program return of service (seperti ikatan dinas / program putra putri daerah), stabilisasi fasilitas kesehatan dan manajemen SDM di wilayah terpencil, optimalisasi sistem rujukan, dan pembangunan daerah terpencil yang kondusif untuk ditinggali dokter dan keluarganya.

Dari sini, kita dapat menilai betapa pemerintah Indonesia amat minim dalam mengupayakan kemandirian dan kekuatan bangsa sendiri, serta amat mudah bergantung kepada asing untuk mengurusi urusan masyarakat. Tak hanya terjadi di sektor kesehatan, namun juga sektor vital lainnya seperti sektor pangan. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia semakin hari semakin lekat dengan sistem kapitalisme, dimana peran pemerintah di sektor publik makin minim. Sebaliknya, swastanisasi dan privatisasi tumbuh subur.

Padahal, sebuah hal yang lumrah jika ingin membangun peradaban yang besar dan mandiri, tentu perlu effort lebih besar, biaya yang tidak sedikit, dan waktu yang lebih lama untuk mencetak dokter berkualitas dari negeri sendiri, ketimbang impor dokter asing yang instan. Tentu saja akan sulit bersabar jika menggunakan pola pikir kapitalisme yang lekat dengan prinsip ekonomu, yang mengutamakan keuntungan materiil dengan modal seminimal mungkin. 

Hal ini sangat disayangkan terjadi di Indonesia yang mayoritas muslim. Landasan iman Islam mendorong manusia untuk produktif secara ruhaniah dan jasmaniah dalam waktu bersamaan, termasuk kesehatan jasmani adalah hal yang sangat penting untuk dijunjung. Dalam mencapai kesehatan yang baik, harus menggunakan cara yang benar. Islam memandang bahwa hidup ini bukan hanya masalah hasilnya, namun justru proses dan usahanya yang dinilai oleh Allah SWT, Tuhan semesta alam. Maka, hasil yang diperoleh dengan jalur instan belum tentu merupakan cara yang terbaik.

Apalagi jika kerjasama dengan asing tersebut tidak memberikan kemaslahatan untuk negeri sendiri. Walaupun sudah termaktub dalam UU Kesehatan, ternyata masuknya dokter asing belum ada regulasi pengawasan dan aturan turunannya. Begitupun edaran kemenkes tanggal 9 dan 13 Juni 2024 meminta Rumah Sakit (RS) vertical untuk mengisi jumlah kebutuhan dokter asing. Padahal RS vertikal justru kebanyakan berada di kota besar, sehingga tidak berkorelasi dengan pelayanan kesehatan di daerah terpencil.

Jadi sesungguhya siapakah yang diuntungkan dengn program ini? Apakah menguntungkan masyarakat, atau pihak tertentu? 

Sudah selayaknya kita mengganti sistem kapitalisme di negeri ini, agar pengaturan masyarakat kembali pada amanat yang benar. Kita sudah muak dengan kapitalisme yang merugikan masyarakat di setiap sektor publik termasuk kesehatan. Gantilah dengan pola pikir Islam yang murni dan menyeluruh, bukan sekedar Islam kedok dan setengah-setengah, agar membawa rahmat bagi seluruh alam.

Oleh : dr. Staviera A.

Baca Juga

Post A Comment:

0 comments:

Back To Top