Bonnie


E satu.com (Kota Cirebon) -
Keberadaan Undang-Undang Kelautan Nomor 32 Tahun 2014 mendapat sorotan tajam bagi akademisi, praktisi, mahasiswa, hingga masyarakat dalam upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab.

Hal ini terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema "Urgensi UU Kelautan Nomor 32 Tahun 2014 dalam Penegakan Hukum Maritim di Indonesia" yang di inisiasi Fakultas Hukum UGJ Cirebon, pada Kamis (27/6/24).

Dekan Fakultas Hukum UGJ Cirebon, Dr. H. Harmono, SH., MH., menekankan pentingnya partisipasi masyarakat, termasuk akademisi dan nelayan, dalam menyongsong rencana perubahan undang-undang kelautan. "Indonesia memiliki laut yang luas dan banyak lembaga yang terlibat dalam pengelolaannya, seperti TNI-AL, Korpolairud, Dirjen Hubla, Dirjen PSDKP, Dirjen Bea Cukai, dan Bakamla. Wewenang Polri sangat jelas diatur dalam beberapa undang-undang terkait, seperti UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, dan lainnya. Diharapkan perubahan UU ini tidak mengubah atau menghilangkan tanggung jawab dan wewenang lembaga penegak hukum lainnya," ujarnya.

Dosen UNU Cirebon, Capt. Dr. Herwantono, mengungkapkan bahwa Indonesia adalah negara maritim dengan potensi ekonomi yang sangat besar. "Data Podes 2014 menunjukkan bahwa Indonesia terdiri dari 82.190 desa, dan 12.827 di antaranya adalah desa pesisir. Ada lima pilar untuk mewujudkan poros maritim dunia, yaitu membangun kembali budaya maritim, menjaga dan mengelola sumber daya laut, mengembangkan infrastruktur dan konektivitas maritim, mengembangkan diplomasi maritim, dan membangun kekuatan pertahanan maritim," jelasnya.

Anung Adityatjahja, S.H., M.H., dari AKMI Suaka Bahari Cirebon, menyoroti tantangan teknis dan operasional dalam penegakan hukum maritim. "Indonesia berbatasan dengan 10 negara di laut, dan 40% perdagangan dunia melalui Selat Malaka. RUU ini berencana melebur Bakamla dan KPLP menjadi Coast Guard, yang dinilai tidak efektif jika penyidikan di laut seluruhnya dilimpahkan ke Bakamla. Masalah geografis, keterbatasan SDM, anggaran, serta sarana dan prasarana menjadi kendala utama," ujarnya.

Kesimpulan dari FGD tersebut menyatakan bahwa revisi UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, khususnya mengenai pengalihan kewenangan penyidikan di laut, dinilai kontradiktif dengan beberapa peraturan lain, seperti Pasal 30 Ayat 4 UUD 1945 dan Pasal 6 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Sentralisasi kewenangan penegakan hukum perairan oleh Bakamla RI dapat menghilangkan mekanisme check and balance.

"Seharusnya pemerintah memperkuat sistem keamanan di laut dengan mempertahankan struktur lembaga yang ada saat ini dan meningkatkan kolaborasi antar lembaga penegak hukum sehingga pengelolaan kekayaan dan keamanan laut Indonesia menjadi lebih efektif," terangnya.

Kaprodi UMC, Omang Suparman, SH., MH., menyoroti pentingnya tentang tugas dan mekanisme penegakan hukum maritim.

Faktor utama didalam pelaksanaan kemaritiman ini ada beberapa hal tentang Maslaah penanganan dan penindakan atau penegakan hukum.

Menurutnya, dalam penegakan hukum ada beberapa aspek, pertama bahwa setiap undang-undang yang diciptakan pasti sudah mempunyai tugas siapa yang akan melakukan penegakan hukumnya.

"Tentunya sudah tidak bingung lagi tentang siapa penyidiknya, siapa tugas penegakkan hukumnya sesuai dengan KUHP," ujarnya.

Ia menegaskan, penyidik harus profesional agar tidak terjadi penyimpangan dan banyak kepentingan. (Wnd)
Baca Juga

Post A Comment:

0 comments:

Back To Top