camat


Sangat miris. Kasus Vina yang terjadi sejak tahun 2016,  yaitu delapan tahun silam, masih saja belum terselesaikan. Selain Vina, kasus ini juga menelan korban lain yaitu Eky yang merupakan anak dari aparat kepolisian. Walaupun begitu, tetap tidak bisa mendapatkan keadilan. Lantas, bagaimana masyarakat awam bisa menaruh kepercayaan kepada kinerja aparat kepolisian?

Semenjak awal Daftar Pencarian Orang (DPO) pelaku dan otak kejahatan dari kasus Vina dirilis, sudah tampak bahwa polisi tidak transparan dalam merilis informasinya. Walaupun delapan orang telah ditangkap dan diberikan hukuman, terdapat tiga orang DPO termasuk otak kejahatannya masih belum tertangkap hingga saat ini. 

Sketsa ketiga DPO tidak ada, identitas simpang siur, sempat berubah-ubah. Bahkan kepala desa dari lokasi yang disebut sebagai asal dari DPO tersebut, tidak mendapat informasi resmi dari pihak kepolisian setempat, justru baru mengetahui dari media. Setelah ditelusuri, nama ketiga DPO tersebut tidak ditemukan di data penduduk desa. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar di masyarakat, apakah polisi benar-benar serius untuk menyelesaikan kasus ini?

Padahal telah kita ketahui bersama bahwa kasus pembunuhan, kekerasan terkait geng motor dan kekerasan seksual bukan hanya kasus Vina. Hal ini banyak terjadi di Kabupaten Cirebon. Selama enam bulan saja sudah tercatat 11 kasus yang bahkan menelan korban jiwa (Kompas.id, 27/05/22). Kekerasan terhadap perempuan dan anak juga tercatat semakin meningkat dari tahun 2022 hingga 2024, termasuk di dalamnya yang terbanyak adalah kasus kekerasan seksual (ciremaitoday.com, 22/04/24)

Hal ini bisa jadi disebabkan sanksi hukum yang kurang tegas, sehingga tidak memberikan efek jera dan berpotensi menimbulkan kasus lainnya yang serupa. Kita bisa bandingkan dengan hukum pidana dalam pandangan Islam. Dalam Islam, kejahatan membunuh orang dapat dikenai hukum Qishash. Hukuman yang berat seperti ini akan membuat orang-orang berpikir ulang untuk melakukan pembunuhan. 

Saat ini di Indonesia, pelaku pembunuhan dihukumi oleh kurungan penjara paling lama seumur hidup (pasal 339 KUHP). Bahkan banyak ditemukan kasus-kasus kekerasan, contohnya kekerasan pada anak, yang dibiarkan tidak tuntas dan mengambang, hukumannya tidak memberikan efek jera (cnnindonesia.com, 10/10/15). Mirisnya lagi, penjahat bisa jadi berpikir penjara ini bukan hukuman yang perlu ditakuti, justru di sana mereka masih bisa makan dan hidup, atau melakukan kejahatan lainnya. Sehingga orang-orang yang berpikiran jahat tidak merasa takut dengan hukuman yang ada, dan melancarkan aksi kejinya.

Sangat disayangkan bahwa berbelit-belitnya penanganan kasus Vina ini terjadi di Indonesia yang merupakan negeri mayoritas muslim. Pembunuhan, penganiayaan, dan kekerasan seksual adalah perbuatan keji dan termasuk dosa besar dalam Islam, layak untuk mendapat hukuman berat. Islam memandang nyawa dan kehormatan manusia sebagai hal yang dijaga serta dijunjung tinggi, maka penjahat yang menodai dan merampas hak hidup patut untuk dihukum dengan berat. 

Dengan hukum Qishash, pelaku kejahatan dibalas seperti perbuatannya, apabila membunuh maka dibalas dengan dibunuh dan bila memotong anggota tubuh maka dipotong juga anggota tubuhnya. Tentu saja tetap melalui sidang peradilan yang akan diputuskan oleh Qadli (hakim). Syaikh Prof.DR. Shâlih bin Fauzân mendefiniskan bahwa al-Qishâsh adalah perbuatan (pembalasan) korban atau walinya terhadap pelaku kejahatan sama atau seperti perbuatan pelaku tadi. Hal ini akan memberikan efek Zawajir (efek membuat jera, sehingga mencegah kejahatan).

Pihak berwenang sebagai pelaksana hukum juga terikat dengan aqidah Islam dalam menjalankan tugasnya. Rasa keimanan yang dibangun dan dipupuk akan melahirkan rasa takut kepada Allah, mengingat bahwa setiap tindakannya akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Berbeda dengan sudut pandang sekuler yang memisahkan Tuhan dari kehidupan sehari-hari, yang berpeluang menjadikan manusia lebih takut kepada manusia, atau pihak lain yang lebih berkuasa, atau pihak yang memiliki kepentingan dan uang, daripada bersikap integritas yang lahir dari komitmen taqwa.

Solusi yang hadir dari sudut pandang Islam ini patut untuk kita lirik, pelajari dan diterapkan di tengah masyarakat. Bukan hal yang asing bagi masyarakat Indonesia untuk melirik Islam sebagai solusi, karena nilai-nilai Islam telah tumbuh di tengah masyarakat dan memberikan berbagai dampak positif. Apalagi Islam bersifat rahmatan lil ‘aalamiin atau memberi rahmat / kasih sayang ke seluruh alam, tak hanya untuk orang muslim. Bagi seorang muslim, berislam kaffah (menyeluruh) adalah sebuah kewajiban, yang akan membawa maslahat bagi dirinya dan sekitarnya.

Oleh : Staviera A.

Baca Juga

Post A Comment:

0 comments:

Back To Top