E satu.com (Jakarta) -
Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menuturkan esensi kepemimpinan adalah pengaruh dimana tugas seorang pimpinan membawa pengaruh positif bagi orang-orang yang dipimpinnya. Kepemimpinan juga dimaknai sebagai pemberdayaan, dimana pemimpin dituntut memiliki kapabilitas dan kompetensi untuk menggali dan memberdayakan seluruh potensi SDM yang dipimpinnya.

"Disisi lain, esensi dari kepemimpinan juga dimaknai sebagai mengabdi dan melayani. Bukan sebaliknya, minta dilayani. sebagaimana telah menjadi konsep yang salah kaprah dan lazim terjadi dalam lingkungan birokrasi," ujar Bamsoet saat menjadi pembicara secara daring dalam The 22nd Leaders Dialogue, yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, di Jakarta, Kamis (5/10/23).

Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, para generasi muda dapat banyak belajar mengenai konsep kepemimpinan dari berbagai tokoh dunia yang melegenda. Misalnya Napoleon Bonaparte, seorang Jenderal, Kaisar Prancis, dan salah satu tokoh paling terkenal dalam sejarah Eropa. Napoleon memaknai pemimpin adalah “penyalur harapan”. Dengan menumbuhkan harapan, Napoleon tidak hanya mendapatkan kepercayaan, melainkan juga mampu menginspirasi dan memobilisasi pengikutnya.

"Contoh lain, Mahatma Gandhi, seorang pemimpin spiritual dan politikus India, yang memandang bahwa kepemimpinan adalah kemampuan untuk merangkul orang-orang. Pandangan humanis Gandhi yang dibalut dengan kesederhanaan dan kesahajaannya, mampu menyentuh relung hati terdalam dari para pengikutnya dan menginspirasi begitu banyak masyarakat dunia," kata Bamsoet.


Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, jika ingin menggali lebih dalam untuk mempelajari nilai-nilai kearifan lokal, begitu banyak aspek dan dimensi yang dapat dipelajari untuk memaknai konsep kepemimpinan yang sangat inspiratif dan memiliki muatan wawasan kebangsaan. Nilai-nilai kearifan lokal tersebut dapat dirujuk pada konsep kepemimpinan sebagaimana diajarkan oleh tokoh pendidikan nasional Indonesia, Ki Hajar Dewantara.

"Ki Hajar Dewantara memiliki tiga butir pemikiran yang begitu holistik dan komprehensif. Bahkan masih sangat relevan dan kontekstual untuk kita jadikan pedoman. Pertama, ing ngarso sung tulodho yang dimaknai di depan memberikan teladan. Seorang pemimpin harus dapat menjadi teladan, memberikan contoh yang baik, seia sekata antara perkataan dan perbuatan. Sebagaimana pepatah, bahwa satu tindakan yang dicontohkan, jauh lebih bernilai dibandingkan dengan seribu perkataan yang diucapkan. Keteladanan pimpinan inilah yang pada akhirnya akan melahirkan loyalitas," kata Bamsoet. 

Dosen Pembaharuan Hukum Nasional dan Politik Hukum pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Borobudur ini menambahkan, pemikiran kedua Ki Hadjar Dewantara adalah ing madyo mangun karso. Konsep ini mengamanatkan agar seorang pemimpin harus mampu berkerjasama dengan orang-orang yang dipimpinnya. Kehadiran pimpinan di tengah-tengah rakyat, berperan penting dalam membangun motivasi dan membangkitkan semangat juang rakyat yang dipimpinnya.

Ketiga adalah tut wuri handayani. Konsep ini meniscayakan agar seorang pemimpin harus mampu memberikan dorongan moral, memberikan kepercayaan kepada seluruh anak buahnya untuk maju dan berkembang. Karena pada hakikatnya, peran pemimpin bukan untuk sekedar melahirkan para pengikut, tetapi 'memberdayakan'.

"Saya meyakini dengan segala karakteristik kepemimpinan yang bersumber dari nilai-nilai kearifan lokal, maka dengan sendirinya akan terjalin relasi kohesi yang kuat antara pemimpin dengan orang-orang yang  dipimpinnya. Dalam kondisi ini, kepemimpinan tidak sekedar menginspirasi, tetapi juga berimplikasi pada  lahirnya kepercayaan dan loyalitas," pungkas Bamsoet. (wandi)

Baca Juga

Post A Comment:

0 comments:

Back To Top