Angka perceraian di Indonesia menunjukkan peningkatan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Lonjakan ini didorong oleh berbagai faktor, mulai dari konflik rumah tangga, tekanan hidup, persoalan ekonomi, hingga rapuhnya ketahanan keluarga dalam sistem sosial saat ini.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat 399.921 kasus perceraian sepanjang 2024, sedikit menurun dari tahun 2023 yang berjumlah 408.347 kasus. Meski demikian, angka ini masih jauh lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi Covid-19 yang hanya 291.677 kasus.
Di sisi lain, jumlah pernikahan justru terus menurun. Pada 2020, tercatat sekitar 1,78 juta pernikahan, sementara pada 2024 turun menjadi 1,47 juta. Tren serupa terlihat di ruang digital: pada akhir Agustus 2025, kata kunci “cerai” mencapai puncak pencarian tertinggi sepanjang tahun dan kembali meningkat pada Oktober. Fenomena ini memperlihatkan bahwa perceraian bukan lagi perkara privat, tetapi juga menjadi topik refleksi sosial di tengah masyarakat.
Tren perceraian kini akrab dalam kehidupan sosial, baik di kalangan masyarakat umum maupun publik figur. Menariknya, cerai gugat—yakni istri menggugat suami—menjadi tipe perceraian yang mendominasi. Fenomena ini terjadi pada berbagai kelompok, dari pasangan muda hingga pasangan yang telah lama menikah (grey divorce).
Jika dahulu perceraian dianggap aib, kini semakin banyak perempuan yang merasa memiliki ruang untuk menentukan arah hidupnya. Para figur publik yang berpisah pun sering menjadi simbol perubahan itu: bahwa kesejahteraan mental dan hak atas kebahagiaan perlu diperjuangkan.
Namun, tren ini juga menjadi pengingat bahwa ketahanan keluarga sedang berada pada titik kritis. Ketika pernikahan semakin sedikit dan perceraian tetap tinggi, stabilitas sosial pun ikut terdampak.
Apa Faktor Utama Peningkatan Perceraian?
Guru Besar Sosiologi Universitas Trunojoyo, Khoirul Rosyadi, menyebutkan bahwa perceraian umumnya dipicu oleh konflik dan ketidaksepahaman yang sulit diselesaikan. Kondisi ekonomi keluarga yang tidak stabil juga menjadi penyebab yang paling sering muncul. Selain itu, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), baik fisik maupun psikis, menjadikan hubungan tidak aman.
Ia juga menyoroti maraknya judi online yang diperkirakan memiliki kontribusi terhadap keretakan rumah tangga, meski pengaruhnya masih perlu pembuktian lebih lanjut.
Akar Masalah: Pergeseran Nilai Hidup di Era Sekularisme
Jika ditelusuri lebih dalam, berbagai faktor tersebut bukan berdiri sendiri. Ada pola besar yang ikut mendorong lemahnya fondasi keluarga, yakni pengaruh sekularisme dalam cara pandang hidup modern. Sekularisme memisahkan urusan dunia dari nilai dan tuntunan agama. Akibatnya, banyak orang melihat pernikahan hanya sebagai kontrak sosial yang dapat diakhiri kapan saja jika tidak lagi memberikan kenyamanan.
Padahal, dalam Islam pernikahan adalah mitsaqan ghalizah, sebuah perjanjian kuat yang mengandung nilai ibadah. Ia merupakan institusi yang dibangun atas dasar ketakwaan, saling menjaga kehormatan, meneruskan keturunan, serta mewujudkan ketenangan dalam ridha Allah Swt. Ketika nilai spiritual ini bergeser, komitmen pernikahan pun menjadi rentan. Fokus pernikahan tidak lagi pada tanggung jawab dan pengorbanan, tetapi bergeser pada kepuasan pribadi semata.
Dampak Sosial dari Runtuhnya Nilai Keluarga
Anak-anak menjadi pihak paling terdampak ketika pernikahan gagal. Mereka tumbuh dalam kondisi emosional yang tidak stabil dan kehilangan figur keteladanan. Dalam skala masyarakat, meningkatnya angka perceraian melemahkan struktur sosial karena keluarga adalah unit terkecil dari peradaban.
Media dan budaya populer sering memperkuat perubahan ini dengan menampilkan perceraian sebagai hal yang wajar dan mudah dijalani. Pesan-pesan semacam ini perlahan mengikis makna sakral pernikahan.
Solusi: Mengembalikan Keluarga pada Nilai Keimanan
Krisis keluarga modern tidak dapat diselesaikan hanya oleh perbaikan ekonomi atau edukasi teknis tentang rumah tangga. Solusi utamanya adalah mengembalikan peran agama sebagai fondasi kehidupan, termasuk dalam urusan pernikahan.
Anak-anak perlu mendapat pendidikan sejak dini tentang makna keluarga, tanggung jawab, dan cinta yang berlandaskan iman. Keluarga yang dibangun atas dasar spiritual yang kuat akan melahirkan generasi yang kokoh dan berkarakter.
Penutup
Runtuhnya keluarga bukan hanya persoalan individu, tetapi ancaman bagi keberlanjutan peradaban. Sekularisme mungkin menjanjikan kebebasan, tetapi tanpa panduan spiritual, kebebasan itu dapat berubah menjadi krisis nilai. Karena itu, untuk menyelamatkan keluarga dan masyarakat, kita harus kembali pada makna hakiki pernikahan: ikatan suci yang dibangun atas cinta, komitmen, dan pengabdian kepada Allah Swt
Oleh: Tina Hartina, S.Sos
Referensi
VOI. (2025, Januari 30). Tren cerai gugat meningkat akibat perempuan bisa mandiri. VOI.id.
Kompas. (2025). Tren perceraian marak, apa yang terjadi? Kompas.id.
CNBC Indonesia. (2025, Oktober 30). Fenomena artis cerai: Ini 13 penyebab utama perceraian di Indonesia. CNBCIndonesia.com.
Al-Fath Institute. (2024). Pergeseran makna pernikahan dan krisis keluarga modern [Video]. YouTube. https://youtu.be/QnwcEpNY0Ck
Badan Pusat Statistik. (2024). Statistik pernikahan dan perceraian Indonesia 2020–2024. BPS.go.id.
Google Trends. (2025). Tren penelusuran kata kunci “cerai” di Indonesia 2025. trends.google.com.